Minggu, 29 November 2015

Hari Raya Kuningan

By
HARI raya Kuningan dilambangkan sebagai hari raya yang penuh waranugraha bagi yang sukses berjuang menegakkan Dharma. Waranugraha dari Hyang Widhi itu berupa rasa aman (raksanam) dan sejahtera (dhanam). Rasa aman dan sejahtera sebagai karunia dari Hyang Widhi itu dilambangkan dalam banten Kuningan. Banten tebog, selanggi lambang perjuangan menegakkan Dharma dari bawah secara bertahap terus meningkat menuju yang semakin baik dan benar.

Sampian tamiang, ter, kolem adalah lambang karunia Tuhan berupa rasa aman. Endongan adalah lambang karunia Tuhan berupa kesejahteraan ekonomi. Semua waranugraha itu akan diperoleh melalui perjuangan yang dilukiskan oleh tebog dan selanggi itu. Waranugraha dari Hyang Widhi seperti itu hanya akan didapatkan bagi mereka yang berhasil menyatukan Guna Sattwam dan Guna Rajah sebagai dasar perjuangan.

Dalam kitab tattwa Jnyana dinyatakan kalau Guna Sattwam dan Guna Rajas sama kuat menguasai pikiran, maka Guna Sattwam akan membuat orang berniat baik, sedangkan Guna Rajah mendorong orang untuk berbuat baik.

Menurut lontar Sunarigama, banten Kuningan harus dipersembahkan pada pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari. Pagi hari adalah waktu yang tergolong Satwika Kala dan siangnya waktu tergolong Rajasika Kala. Kitab Bhagawad Gita menyatakan bahwa anugerah atau pemberian suci atau dana itu hendaknya diterima saat waktu Satwika seperti pagi atau saat matahari sedang utarayana. Karena itu waranugraha Hyang Widhi kepada umat-Nya diberikan saat pagi waktu Satwika sebelum tengah hari. Mereka yang mampu menyatukan kekuatan Guna Sattwam dan Guna Rajah sebagai alat Sang Hyang Atma yang akan mendapatkan kehidupan yang penuh berkah atau waranugraha.

Waktu sore setelah matahari condong ke barat termasuk Tamasika Kala. Ini berarti kekuatan Sattwam, Rajah dan Tamas seimbang. Menurut ketentuan Tattwa Jnyana maupun Wrehaspati Tattwa, kalau Sattwam, Rajah dan Tamah kekuatannya seimbang maka Atman akan mengalami Samsara artinya Atman akan mengalami penjelmaan berulang-ulang. Mereka yang masih dikuasai oleh Tri Guna belum berhak mendapatkan waranugraha berupa kehidupan yang aman dan sejahtera di dunia sekala dan sorga di dunia niskala. Mereka harus berjuang kembali menguasai Tri Gunanya agar Guna Sattwam yang mendominasi Guna Rajah dan Tamah dalam kehidupan di dunia ini.

Hari raya Kuningan adalah lambang Hyang Widhi melimpahkan karunia-Nya pada umat yang telah berhasil menegakkan Dharma di bhuwana agung dan bhuwana alit.

Manusia modern banyak yang lebih menonjolkan sifat rajah dan tamah. Penguatan sifat sattwam umumnya ditinggalkan. Sifat rajah mendorong orang untuk rakus, mementingkan diri sendiri. Hidupnya untuk bersenang-senang tanpa ada kesadaran dan upaya untuk membatasi. Sifat tamas mendorong orang bermalas-malas tetapi ingin hidup mengikuti kenikmatan nafsu. Ingin pujian dan sangat marah kalau dikritik. Dominasi dua sifat itulah yang semakin menggejala di zaman modern ini. Dari dominasi dua sifat itu menimbulkan berbagai kesenjangan. Munculnya berbagai kesenjangan itu menimbulkan gangguan keamanan dan ketidakadilan dalam berbagai kehidupan terutama kesejahteraan ekonomi.

Kehidupan beragama semestinya dapat didayagunakan untuk meredam sifat-sifat rajah dan tamah tersebut. Mereka yang asyik hidup mengumbar nafsu tidak tertarik untuk meningkatkan kualitas spiritualnya melalui agama yang dianutnya.

Kalau dalam kehidupan individu Dharma tidak ditegakkan maka dalam kehidupan sosial pun Dharma semakin dijauhi. Kalau Dharma tidak mendominasi manusia secara individu maupun sosial maka mendapatkan rasa aman dan sejahtera yang berkeadilan akan semakin jauh. Proses perayaan Kuningan pada Sabtu Kliwon Wuku Kuningan, 15 Oktober 2005 mendatang patut direvitalisasi untuk mendapatkan rasa aman dan sejahtera yang adil.
Source : Balipost

0 comments:

Posting Komentar