Minggu, 08 November 2015

Banten, Bukan Penebus Dosa

By
Banten vs Dosa

Warga Hindu (Bali) tiap kali menggelar upacara keagamaan bersaranakan banten. Termasuk saat melakukan upacara menyucikan diri secara niskala, banten juga menjadi sarana utama. Ida Pandita Dukuh, sesungguhnya seberapa besar banten bisa menyucikan dosa? Apakah banten bisa menggantikan dosa? Kalau banten memang bisa menebus dosa, atau setidaknya mengurangi berat-ringan dosa, tidakkah orang-orang kaya akan berlomba-lomba menebus dosa dengan banten, lalu tinggallah si miskin yang sakit-sakitan saja terus berkubang sepanjang hayat pada dosa? Kalau cuma miskin, orang pun bisa saja meminjam dulu uang, yang penting dosa akhirnya bisa dihapuskan.

Bagaimana ini mesti dipahami, diterangkan, biar pihak non-Bali Hindu juga bisa memahami praktek keagamaan kita di Bali yang sampai kini sedikit-sedikit menggunakan banten sebagai sarana rasa bakti, meskipun tidak lagi dengan membuat langsung, melainkan cukup dengan membeli, layaknya membeli komoditas lain di pasar swalayan? Terus terang saya belum menemukan jawaban tepat, karena itulah saya bertanya kepada Ida Pandita Dukuh. Mohon dapat diterangkan sejelas-jelasnya. Matur suksma.

Made Yudyastana
Tampaksiring, Gianyar

Jawab:
Yajnya adalah persembahan dan korban suci yang dilakukan secara tulus ikhlas tanpa pamerih. Karena bersentuhan dengan ketulusikhlasan, maka yajnya yang kita persembahkan semestinya tanpa menimbulkan beban bagi yang melaksanakan. Ikhlas memiliki makna melakukan yajnya yang disesuaikan dengan batas kemampuan. Tanpa pamerih artinya dalam melakukan yajnya kita tidak mengharapkan suatu pembalasan atau penghormatan apa pun, melainkan semata-mata karena rasa bakti kita kepada leluhur, para dewa, dan pada akhirnya kepada Tuhan—yang kerap dirumuskan dengan kalimat rame ing gawe sepi ing pamrih.

Pada hakikatnya yajnya itu timbul dari rna atau utang. Adapun manusia memiliki tiga utang atau kewajiban utama yang disebut trirna, yakni pitra-rna, dewa-rna, rsi-rna. Dari sinilah kemudian muncul pancayajya: utang kelahiran (pitra-rna) akan melahirkan manusayajnya dan pitrayajnya; utang hidup dan kehidupan (dewa-rna) memunculkan dewayajnya dan bhutayajnya; serta utang pengetahuan tentang hidup (rsi-rna) melahirkan rsiyajnya. Dalam Bhagawata Purana, yajnya itu dibagi menjadi lima hal pokok yang disebut pancamahayajnya, terdiri dari:

1. Drawyayajnya, yaitu ber-yajnya dengan harta benda, seperti banten dan sejenisnya;

2. Tapayajnya, yakni ber-yajnya dengan pengendilan diri;

3. Jnanayajnya, yaitu ber-yajnya dengan mempelajari hidup dan kehidupan (pengetahuan rohani);

4. Yogayajnya, yakni ber-yajnya lewat melatih diri dengan pengaturan napas kehidupan;

5. Swadyayayajnya, yakni dengan mempersembahkan tenaga sebagai persembahan.

Jadi, berpijak pada pancamahayajnya ini, sesungguhnya, upacara dengan banten hanya seperlima bagian dari pelaksanaan yajnya. Begitu juga jika bersuluh pada trikerangka agama Hindu—yang mencakup tatwa (filosofi), susila (etika), dan upacara, maka beryajnya tidak cukup hanya dengan sesaji atau banten.

Sayangnya, selama ini masih terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan beragama Hindu. Kebanyakan kita hanya mengutamakan upacara sebagai bentuk bakti kepada Tuhan dan terkadang mengabaikan etika serta tatwa yajnya itu sendiri. Akibatnya, memunculkan suatu bentuk upacara yang penuh sarat dengan sarana, sebaliknya sangat minim pengetahuan kita tentang tatwa upacara tersebut.

Jadi, yajnya, khususnya upakara (dari kata upa = dekat; kara = tangan) bukan bertujuan sebagai sarana penghapusan dosa, melainkan menjadi satu di antara bentuk bakti kepada alam, leluhur, para dewa serta Tuhan. Dengan demikian tidak perlu ada kekhawatiran bagi kita yang kurang mampu untuk melaksanakan upacara dengan banten besar atau megah. Masih ada banyak jalan yang bisa ditempuh sebagai bentuk pelayanan bakti kepada Tuhan, sehingga pencapaian jagaddhita dan moksartham akan terwujud seperti disuratkan dalam Upanisad Manawa Sewa, “Layanilah manusia sebagaimana engkau melayani Tuhanmu.”

Rentang Waktu Caru & Tawur

Di Bali ada berbagai jenis upacara keagamaan. Di antaranya bhutayajnya, setingkat macaru dan tawur. Lantas, apa ada batasan jangka waktu setiap tingkatan dan jenis upacara macaru dan tawur? Pada saat seperti apa mesti digelar upacara bhutayajnya yang dinamakan caru dan bilamana lantas menggunakan tawur? Mohon penjelasannya.

Ni Wayan Sukasih
Buahan, Payangan, Gianyar

Jawab:
Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur. Dalam rontal Carcaning Caru, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, an campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan, sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan berikutnya. Sedangkan pancasanak sampai dengan pancakelud dalam rontal ini disebutkan sebagai caru yang berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pamlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara.

Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam rontal Bhama Kertih—digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta). Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk ekadasarudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi. Caru lazim digelar bilamana terjadi proses upacara pamlaspasan dan ngenteg linggih pada tingkatan madya atau menengah. Begitu juga manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.

Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.
Upacara Rsi Gana, Bhuta/Dewa Yajnya?
Warga Hindu di Bali dan orang Bali yang berada di luar Bali mengenal ada banyak jenis upacara. Ada yang menyebutkan upacara Rsi Gana itu bukan sebagai caru atau bhutayajnya, melainkan digolongkan ke dalam dewayajnya. Alasannya, Rsi Gana bukan untuk mengharmoniskan alam lewat proses somya, melainkan pemujaan kepada Ganapati sebagai Vignesvara agar terhindarkan dari berbagai rintangan. Menurut Ida Pandita Dukuh, yang manakah betul sesungguhnya, apakah Rsi Gana itu upacara tergolong bhutayajnya ataukah dewayajnya?

Made A Dwipranatha
Sidemen, Karangsem

Jawab :
Sebagaimana Saudara Made sebutkan, dalam upacara agama Hindu memang ada dikenal istilah Rsi Gana. Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan.

Namun penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru—kebanyakan orang menyebut dengan istilah caru Rsi Gana. Padahal antara Rsi Gana dengan caru itu terpisah adanya. Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan. Misalkan, Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna). Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda). Adapun Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud, yakni menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru.

Jadi, pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah bertujuan untuk memuja Dewa Gana Pati atau Ganesa yang merupakan Dewa Penguasa para Gana atau para abdi Dewi Durga, Dewa Siwa, dan Gana Pati sendiri. Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa

Source : Sarad Bali

0 comments:

Posting Komentar