Jumat, 13 November 2015

Menyelesaikan Konflik Adat

By
  • Masyarakat Bali menilai komunitas adat dianggap sebagai simbol keseimbangan dan keharmonisan.
  • Konflik adat di Bali muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat.
  • Konflik ini diyakini bisa mengganggu alam sekala dan niskala. Maka penyelesaiannya juga lewat jalan sekala dan niskala.
  • Cara yang paling murah menyelesaikan konflik adat yakni menyelesaikan sendiri konflik tersebut.

ADA sementara orang berpendapat bahwa belakangan ini semakin banyak muncul konflik adat dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Pendapat itu mungkin ada benarnya, tetapi penulis memiliki pendapat yang agak berbeda. Kasus yang banyak muncul belakangan ini bukan hanya konflik adat, tetapi juga berbagai konflik lainnya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari kemajuan zaman dan semakin kompleksnya kehidupan manusia.

Konflik adat terkesan semakin banyak, karena komunitas adat dianggap sebagai simbul keseimbangan dan keharmonisan. Komunitas adat seolah-olah menjadi satu-satunya tumpuan harapan untuk menikmati kedamaian dan bukan komunitas yang lainnya. Oleh karena itu, ketika terbetik berita mengenai konflik yang melibatkan komunitas adat, orang terperangah seperti kehilangan harapan. Sementara berbagai konflik yang muncul pada komunitas lainnya, dianggap biasa dan tidak perlu dihiraukan.

Konflik adat yang dimaksud dalam hal ini adalah konflik yang muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat dan norma agama. Kejadian ini menyebabkan keseimbangan dalam suatu komunitas adat terganggu. Konflik adat di Bali muncul karena adanya pelanggaran atas norma adat Bali dan norma agama Hindu, sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan alam nyata (sekala) dan alam gaib (niskala) di sebuah desa adat/desa pakraman di Bali.

Oleh karena konflik adat di Bali diyakini dapat menimbulkan gangguan keseimbangan sekala dan niskala, maka untuk menyelesaikannya juga diperlukan upaya sekala dan niskala. Artiya, persoalan sekala diselesaikan sesuai dengan tata cara dan tatakrama kehidupan di alam sekala. Persoalan yang diyakini bernuansa niskala, diselesaikan dengan upaya tertentu yang mengandung makna penyelesaian secara niskala. Kalau pelaku pelanggaran harus dikenakan sanksi adat, maka wujudnya juga mencerminkan kedua hal tersebut. Arta danda (seperti, denda uang) dan jiwa danda (seperti, wajib kerja), dapat disebut penyelesaian secara sekala dan sangaskara danda (seperti, pelaksanaan upacara tertentu) mengandung makna penyelesaian secara niskala.

Pertanyaannya, siapa yang dapat menyelesaikan konflik adat ?

Ada beberapa jalan sesuai hukum untuk menyelesaikan konflik adat. Menyelesaikan sendiri, minta pihak ketiga sebagai penengah, dan serahkan kepada pihak berwenang (sang rumawos). Masing-masing cara penyelesian tersebut mempunyai konsekuensi yang berbeda. Cara paling murah untuk menyelesaikan konflik adat adalah dengan menyelesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Cara ini dikatakan murah karena memang tidak membutuhkan biaya dan waktu yang terlalu banyak. Syaratnya, masing-masing pihak yang terlibat konflik benar-benar memahami hakikat objek yang menjadi sumber pemicu konflik dan masing-masing pihak juga benar-benar bermaksud menciptakan kedamaian bersama. Masalahnya, sering kali pihak yang terlibat konflik adat, kurang mengerti hakikat objeknya, sehingga yang muncul sebenarnya adalah pertarungan gengsi. Kalau masing-masing kemudian bertahan pada gengsi dan ketidatahuannya, maka konflik adat murah menjadi tidak mudah diselesaikan.

Kalau cara pertama berakhir buntu disebabkan karena masing-masing pihak bertahan pada gengsi dan ketidaktahuannya, dapat dipilih cara kedua. Mintalah tolong kepada pihak ketiga (pemerintah atau lembaga lain), yang dipercaya oleh kedua belah pihak untuk mencari jalan keluar dari lingkaran konflik adat. Pihak ketiga yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman sebagai penengah menyelesaikan konflik (Alternatif Dispute Resolution) atau disingkat ADR), akan mengambil beberapa langkah awal sebelum memberikan beberapa alternatif penyelesaian. Pertama-tama akan dijelaskan beberapa termimologi yang berkaitan dengan penyebab munculnya konflik adat tersebut. Sesudah para pihak memiliki persepsi yang sama mengenai beberapa istilah yang terkait erat dengan objek konflik, barulah diberikan beberapa pilihan untuk menyelesaikannya. Pada akhirnya yang menentukan pilihan adalah pihak-pihak yang terlibat konflik.

Cara ini memang lebih mudah dari cara pertama, tetapi tidak murah. Perlu disiapkan sejumlah dana untuk pihak ketiga yang membantu penyelesaian konflik adat yang dimaksud, terlepas dari kenyataan apakah yang bersangkutan berhasil menyelesaikan konflik adat tersebut atau tidak. Cara paling murah dan relatif mudah untuk menyelesaikan konflik adat adalah dengan menyerahkan konflik tersebut kepada pihak yang berwenang (sang rumawos). Yang dimaksud pihak berwenang dalam hal ini adalah pemerintah kabupaten di Bali atau pemerintah Propinsi Bali, jajaran penegak hukum maupun organisasi lainnya yang memiliki kewenangan di bidang adat Bali (Majelis Desa Pakraman) dan agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia). Kalau sebuah konflik adat benar-benar dipercayakan kepada pihak berwenang untuk menyelesaikannya, biasanya pihak yang berwenang akan berkoordinasi dalam menyelesaikan konflik adat.

Dengan demikian segala biaya yang diperlukan untuk melasakan tugas ini, menjadi tanggung jawab pihak berwenang. Demikian pula halnya kalau pihak berwenang merasa perlu memanggil pihak tertentu (yang dianggap ahli) untuk memberikan penjelasan atas istilah, ungkapan, atau makna yang tersembunyi di balik simbol-simbol tertentu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu juga menjadi tanggung jawab pihak berwenang. Itu sebabnya penyelesaian dengan cara ini dikatakan murah.

Pihak-pihak yang terlibat konflik adat juga tidak perlu pusing memikirkan alternatif penyelesaian. Tugas utama yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik adat adalah menyerahkan fakta, data dan daftar keinginan. Sesudah itu, selesai. Pihak yang berwenanglah selanjutnya akan memikirkan penyelesaian terbaik bagi konflik adat yang dimaksud. Penyelesaiannya tentu disesuaikan dengan fakta, data, dan mengakomodir sebanyak mungkin keinginan masing-masing pihak yang terlibat. Sesudah konflik adat diselesaikan dan keputusan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, tidak ada hak bagi pihak yang terlibat dalam konflik adat tersebut, untuk mendiskusikan kembali putusan yang telah diambil. Tugas masing-masing pihak hanya satu, melaksanakan keputusan pihak berwenang secara tulus ihlas dengan penuh tanggung jawab. Itu sebabnya kenapa penyelesaian dengan cara ini dikatakan mudah.

Masalahnya, pihak-pihak yang terlibat konflik adat, pada umumnya tidak memiliki sikap yang tegas, mengenai cara mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan konflik yang dihadapi. Menyelesaikan sendiri, menggunakan pihak ketiga sebagai penengah atau menyerahkan kepada pihak yang berwenang. Lebih dari itu, mereka juga tidak siap menerima konsekuensi yang menyertai masing-masing cara penyelesian konflik tersebut. Dengan kata lain, sikap mereka sebenarnya ingin menang sendiri. Kalau demikian adanya, maka konflik adat menjadi tidak murah dan tidak mudah diselesaikan, lembaga manapun yang diminta untuk menyelesaikannya.

* Penulis adalah dosen FH Unud

Source : Balipost



0 comments:

Posting Komentar