Minggu, 08 November 2015

Tuhan yang menakutkan.

By
OM Svastyastu, Rudolf Otto, seorang teolog Kristen, mengatakan, Tuhan memiliki sifat “Tremendum et Fascinatum Menakutkan sekaligus Mengagumkan. Orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam disebut “God fearing PeopleEorang-orang yang takut pada Tuhan. Tuhan di dalam agama-agama ini tidak boleh digambarkan secara visual dengan patung, gambar atau topeng serem-serem, tetapi secara verbal digambarkan sebagai Mahluk yang kejam, yang memerintah tidak “lawfullyEtetapi “willfullyEsemaunya sendiri dan karena itu menakutkan. Sekalipun manusia berbuat baik belum tentu mendapat sorga, bahkan masuk neraka jahanam sepanjang jaman, bila manusia itu tidak percaya atau kurang beribadah kepada masing-masing Tuhan itu. (JackMiles : God, a Biography).

Mengapa para leluhur kita dahulu membuat patung Ida Betara dengan topeng yang serem-serem? Tentu bukan karena membaca bukunya Rudolf Otto. Di dalam sruti, sejauh pengetahuan saya, Tuhan tidak dilukiskan (secara verbal) sebagai Mahluk yang kejam. Sebab Tuhan Hindu memerintah melalui hukum-hukum yang diciptakannya. Saya kebetulan sedang menerjemahkan teks-teks Upanisad yang berkaitan dengan Brahman dan atman, untuk suatu keperluan. Saya sama sekali tidak mememukan teks yang menggambarkan Brahman sebagai Tuhan yang kejam, pembalas dendam, cemburu dan sewenang-wenang. Di dalam Weda, dan Bagawad Gita, memang disebut soal neraka, tetapi sangat sedikit dan tidak digambarkan dengan sangat sadis dan kejam (Jangan-jangan ini membuat kita minder juga; kok Hindu tidak punya neraka sekejam neraka Injil dan Qur’an & hadist?)

Di dalam Mahabharata, khususnya, Bagawad Gita, Krishna digambarkan sebagai Avatara Tuhan selalu tersenyum, bukan Tuhan yang murung, cemburu dan pembalas dendam. Tetapi pernah dua kali Dia menunjukkan bentuknya yang tremendum. Pertama, ketika perundingan perdamaian antara Pandawa dengan Korawa gagal, Krishna yang menjadi duta Pandawa hendak dibunuh oleh Duryadana cs. Krishna memurti menjadi mahluk luar biasa besar menyeramkan sehingga para calon pembunuhnya lari tunggal langgang. Kedua, untuk meyakinkan dirinya, Arjuna membujuk Krishna untuk menunjukkan wujudnya yang lain, dan ketika Krishna memenuhi permintaannya, Arjuna justru ketakutan dan memohon agar itu dihentikan. Apakah para leluhur kita di Bali dulu mendapat inspirasi dari kisah ini? Mungkin juga, tapi mungkin juga tidak, karena Bagawad Gita baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1960an. Lalu apa yang menjadi inspirasi citra seram-seram itu?

Alasan yang paling mungkin, menurut saya adalah, karena pada waktu itu sebagian besar masyarakat Bali tingkat kesadaran moralnya masih pada level 1 (menurut skala Lawrence Kohlberg), yaitu orang berbuat baik, karena takut akan ancaman hukuman (dari Betara, neraka), maka para pemuka agama waktu itu menggambarkan Ida Betara dengan bentuk yang menakutkan. Ini juga mungkin menjelaskan gambar-gambar neraka di Bale Kertagosa, Klungkung sangat kejam dan mengerikan.

Ketika kesadaran moral kita sudah sampai pada level 6, ketika kita berbuat baik, semata-mata hanya karena kewajiban, bukan karena mengharapkan hasil, atau pada level 7 menurut Dr. Richard Alpert, sesuai dengan yang diajarkan oleh Gita (“Jalan Menuju Tuhan, Melaksanakan Gita dalam Hidup Sehari-hari), yaitu seluruh perbuatan kita adalah persembahan bagi Tuhan, maka gambar-gambar atau patung-patung yang menakutkan itu sama sekali tidak ada maknanya, sebagai sarana untuk mengancam, menakut-nakuti, namun tetap sebagai sarana seni.

Tetapi para leluhur kita di Jawa dan Bali juga sudah mengenal paham ketuhanan yang tertinggi seperti diajarkan dalam Upanisad, yang sesebut Acintya, yaitu Tuhan yang tidak terpikirkan. Sekalipun digambar, tetapi gambarnya sangat sederhana. Artinya hakikat Tuhan tidak sepenuhnya dapat ditangkap oleh pikiran manusia. Para leluhur kita di Bali menyebutnya Sang Hyang Embang (bukan Hyang Embang).

Pernyataan sejenis ini banyak kita temukan dalam teks Upanisad, seperti misalnya, na iti (neti) na iti (neti), bukan ini, bukan ini, tetapi ia ada. St. Agustinus, salah seorang filsuf Kristen awal yang paling terkemuka menyatakan hakikat Tuhan hanya dapat dijelaskan via negativa, secara negative, ya seperti neti, neti itu yang dinyatakan oleh Upanisad ratusan tahun sebelum St. Agustinus lahir.

Gandhi mengatakan, sekalipun kita tahu Tuhan atau Brahman tidak dapat digambarkan, tetapi kebanyakan dari kita merindukan suatu bentuk untuk dipuja. Di dalam beberapa teks, Upanisad menyatakan bahwa selain nirguna, terdapat juga saguna Brahman, disebut Isvara, yang menjadi subyek pemujaan. Jadi kedua paham ini dibenarkan oleh Hindu. Pada pagi hari seorang Hindu melakukan meditasi untuk “mencariETuhan yang ada di dalam dirinya. Sore hari ia sembahyang di pura, memuja Tuhan yang ada di luar dirinya. Kedua praktek ini dibenarkan oleh Hindu. Hakikat pantheisme di dalam Hindu adalah bahwa Tuhan ada di dalam dan di luar ciptaan.

Baik Brahman yang ada di dalam semua ciptaan, maupun Isvara yang berbentuk, sama sekali tidak digambarkan sebagai Tuhan yang menakutkan. Lalu pertanyaannya, topeng atau barong yang serem-serem yang ada di pura di Bali mau diapakan? Tergantung kesepakatan para penyungsung pura itu saja. Kalau mau diprelina, seperti barong Landung di salah satu pura desa juga bisa. Tapi ini kok seperti tuhan monotheisme yang takut sama patung. Dan masyarakat Hindu menjadi iconoclast : pembenci patung. Setelah semua barong dihancurkan menyusul patung dwarapala, boma, dan semua patung yang ada di pura, sehingga pura pun akhirnya tampak tak beda jauh dengan post hansip.

Kalau mau dipertahankan juga tidak apa-apa, anggap saja itu druwe atau ilen-ilen, sarana kesenian pura. Seni budaya memperhalus budi pekerti yang gagal dilakukan oleh agama-agama yang semata-mata berdasarkan hukum dan dogmatik. Tanpa seni budaya, agama-agama ini menjadi kering gersang, dan jiwa yang kering dan gersang cenderung melahirkan kekerasan.

Dengan mengetahui keyakinan dan tradisi lain kita dapat melihat keyakinan dan tradisi kita dalam persepektif yang lebih luas. Dan, sekali lagi, kita tidak diperbudak oleh kategori-kategori dan opini-opini yang dibentuk oleh agama-agama lain.

Om santi, santi, santi Om
NPP.
Source : webmaster

0 comments:

Posting Komentar