Jumat, 13 November 2015

Membersihkan Lingkungan

By
Meniadakan Narasi (Politik Harmoni dan Pendiaman di Bali)
Saya melangkahkan kaki jauh menuju pesisir pantai sampai ujung. Nyiur melambai dan rerumputan keras menyayat kaki. Ladang-ladang, persawahan dibangun para petani ditepi pantai. Pasir hitam pantai dimanfaatkan oleh kelompok kebatinan untuk latihan dan ujian kenaikan tingkat. Sekelompok warga berpakaian adat, membawa banten (sesaji) duduk ditepi pantai. Seorang wanita setengah baya memangku sawa (tulang belulang mayat yang telah diaben) untuk segera dibuang ke laut. Pemangku dengansuara berat dan pelan mengucapkan kidung-kidung suci menghantarkan abu tulang belulang mayat untuk dibuang ke laut. Para keluarga melepaskan sawa dan menghantarkannya sampai ditengah pantai.

Beberapa meter persis dibelakang ritual nganyud (melepaskan abu tulang ke pantai) itu, seorang pria renta tanpa baju, sarungnya yang kusam diikat sampai keperut, tanpa peduli terus menghujamkan cangkul diladangnya. Kami menghampiri dan berlagak sebagai makelar tanah yang melihat-lihat lahan untuk dijadikan bungalow. Raut wajahnya yang keriput tersenyum ketika kawan saya menawarkan rokok dan menghidupkan api untuknya. Kawan saya kemudian mengutarakan keinginannya untuk membeli tanah dipinggir pantai ini, termasuk ladangnya. “Niki tanah tenget Pak,” jawabnya. Ini tanah angker. Kakek tua ini kemudian menjelaskan bahwa ia hanya sebagai penggarap ladang ini. Ada seorang tuan tanah yang memiliki ladang dan tanah dipesisir pantai ini. Tuan tanah yang lebih tua darinya itu adalah tokoh masyarakat didesa. Tapi kenapa angker?

Saat jaman Gestok (G30S) dulu, kata kakek tua ini, ia masih remaja. Ia kemudian menunjukkan didepan ladang tempatnya bekerja, ada pohon kelapa besar dengan jurang yang lumayan dalam didepannya. Disebelahnya tersemai rerumputan yang tumbuh subur seluas kurang lebih 15 meter. “Dulu tiang menyaksikan disini bangkai-bangkai dibuang dan kemudian ditanam,” ungkapnya pelan menunjuk jurang dan hamparan tanah yang hanya ditumbuhi rumput. Sore hari sebelum pembantaian itu, katanya, krama (warga) desa tedun ngayah (keluar bekerja). Kulkul (kentongan) dibunyikan dan krama keluar dengan pakaian adat membawa cangkul dan sabit. Semuanya berjalan biasa-biasa saja, padahal malam sampai pagi, bangbang (lubang besar) itu akan ditimbun mayat-mayat anggota krama yang dituduh terlibat PKI (Partai Komunis Indonesia).

Tangan kakek renta ini kemudian membentang, ia kemudian menunjukkan dipesisir pantai yang sekarang ramai ini adalah saksi bisu salah satu dari puluhan bahkan ratusan kuburan masal pembantaian PKI 1965-1966 di Bali. Setiap hari, jika mencangkul ladang, ia tidak pernah melupakan pengalaman masa kecilnya, menyaksikan langsung pembantaian itu terjadi. “Yen nyidang tiang ngidih, sampunan numbas tanah driki,” tuturnya pelan sembari berdiri dan melanjutkan mencangkul. Kalau bisa saya minta, jangan membeli tanah disini.

Saya kemudian tidak bisa membayangkan bagaimana dipesisir pantai itu--yang dalam rencana pemerintah kabupaten akan dijadikan tujuan obyek wisata pantai—terkubur tulang belulang manusia dari peristiwa paling kelam yang dialami bangsa ini. Wisatawan akan tanpa perasaan apapun menginjakkan kakinya diladang atau pesisir pantai. Mungkin saja tanpa sadar, kakinya akan menendang tulang belulang manusia yang mulai muncul kepermukaan. Atau juga tidur nyenyak dihotel yang dibangun diatas kuburan massal pembantaian manusia. Sungguh ironis dan sangat menyesakkan.

Beberapa bulan setelah mendengar cerita kuburan massal itu, tepatnya awal Desember 2003, di Banjar Mekar Sari Perancak, Kabupaten Jembrana saya mendengar cerita mengejutkan. Desa ditepi pantai itu sebagian besar penduduknya sebagai nelayan. Di bibir Pantai Muara Perancak, seorang nelayan melihat tonjolan tulang ditepi pantai. Tanpa curiga, beberapa nelayan kemudian membantu menggalinya dengan bambu dan cangkul. Karena tanahnya yang gembur di pesisir pantai, mereka cepat menemukan tulang-tulang yang lain yang kedalamnya hanya 10 cm. Mereka kemudian menemukan sepasang potongan tulang paha yang panjangnya sekitar 37 cm dan 30 cm. Dalam lubang 10 cm itu juga ditemukan serpihan tulang jari, pinggul, dan tulang belakang. Sayangnya warga tidak menemukan tulang tengkorak. Saat penemuan, kondisi tulang-tulang tersebut masih terbentuk. Namun karena penggalian, posisi tulang jadi berantakan.

Warga Perancak pun ribut, berbagai spekulasi dan dugaan asal tulang itu bermunculan. Satu dugaan kuat adalah tentang sejarah Pantai Muara Perancak. Zaman Gestok dulu, pantai pelabuhan nelayan di Kabupaten Negara ini terkenal sebagai ladang pembantaian PKI yang paling sadis. Dipesisir pantai, korban dideretkan dan dipenggal kepalanya. Dengan lubang seadanya, mereka kemudian dikubur bertumpuk-tumpuk. Kini, ketika tulang-tulang ditemukan tanpa kepala, seolah menjadi bukti bahwa lambat laun tidak penggalian kuburan massal yang terjadi di Bali, tapi—karena sangat dangkalnya lubang kuburan--, tulang-tulang akan muncul kepermukaan dengan sendirinya.

Reaksi warga Perancak pun cepat. Nengah Sudiartana, Kelian (Ketua) Banjar Mekar Sari Perancak, langsung meminta petunjuk Ida Pedanda (orang suci Hindu Bali) untuk membersihkan tulang tanpa tuan dan asal yang jelas ini. Kepercayaan Hindu Bali, tulang-tulang tidak jelas itu adalah tanda keletehan (kekotoran) jagad. Untuk membersihkannya wajib hukumnya melakukan ritual agama agar lingkungan tetap bersih kembali.

Ternyata benar, sehari setelah penemuan tulang tersebut, langsung diadakan upacara pengabenan, pembakaran tulang-tulang tersebut dan abu-abu tulang tersebut dibuang ke laut. Kepercayaan masyarakat Hindu Bali, laut adalah muara dan asal-usul dari umat manusia. Sisa-sisa badan kasar manusia hasil pengabenan, wajib untuk dibuang ke laut, dilebur agar atman (roh) menyatu dengan paramaatman, Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Setelah itu, habislah sudah pergunjiangan masyarakat Perancak tentang tulang-tulang itu. Bagi mereka, keletehan desa mereka telah dihapus dengan ritual agama yang melibatkan seluruh krama Perancak. Gunjingan bahwa mungkin saja ada tulang-tulang yang akan ditemukan lagi ditutup rapat. Apalagi membicarakan tentang kuburan missal. Janji aparat desa, kepolisian untuk penelitian tulang itu ternyata bohong besar.

Bagi masyarakat Perancak, jika ada tulang lagi, upacara lagi adalah penangkalnya. Sama persis dengan obat keletehan saat terjadi Bom Bali Oktober 2002 adalah berbagai ritual Hindu Bali yang hadir silih berganti. Dari ngulapin (mengusir roh jahat) sampai pembersihan jagad Bali dari segala musibah dalam ritual megah yang dihadiri ribuan orang , Pamarisudha Karipubhaya yang menelan dana milyaran rupiah dari APBD (Anggaran Pendapat Belanja Daerah) Propinsi Bali.

Upacara agama adalah senjata sakti untuk kembali menata harmoni, kseimbangan kosmologis di Bali. Khusus untuk pembantaian PKI, bagi msayarakat Bali adalah “Politik” yang diasosiasikan adalah chaos, kebrutalan dan perusak tatanan harmoni masyarakat Bali. Pertarungan politik 1965 menjadi poin sendiri bagaimana masyarakat Bali menutup semua cerita pedih kerabat korban yang kehilangan anak, cucu, suami, keponakan dengan upacara nyapuh (pembersihan) yang dilakukan serentak diseluruh Bali awal tahun 1979.

Saya teringat cerita nenek saya, seorang pemangku dalam pertemuan keluarga. Saudara kakek saya adalah seorang tokoh PNI di desa, adiknya adalah pentolan PKI paling radikal. Rumah mereka berhadap-hadapan. Satu rumah memasang bendera PNI (Partai Nasionalis Indonesia) lengkap dengan papan sekretariat, berseberangan jalan, berhadap-hadapan berdiri megah papan sekretariat PKI dengan bendera-bendera yang mengelilinginya. Saat pembantaian anggota PKI terjadi, kakek saya menerima daftar orang yang mesti dibunuh. Termasuk dalam daftar pertama adalah adiknya. Maka atas rekomendasi saudara kakek saya, adiknya kemudian dikirim ke desa tetangga untuk dibunuh dikuburan desa. Sampai upacara nyapuh berlangsung, belum juga ditemukan mayatnya. “Akhirnya ngaben tanpa mayat, “ tutur nenek saya pelan. Saya kemudian bertanya tentang konsep nyapuh, darimana asalnya dan bagaimana ia menjadi “kesepakatan” untuk membersihkan para korban PKI, bahkan diaben tanpa mayat. Apakah ini dibenarkan ajaran agama Hindu Bali? Nenek saya yang seorang pemangku balik menjawab pelan, “Peh, melid sajan. Nak mula keto,” (Ah, cerewet sekali. Memang sudah begitu ), ujarnya cuek meningglkan pertemuan keluarga.

Politik upacara ritual agama dalam setiap kesempatan dharma wacana (ceramah keagamaan), cerita orang tua pada anaknya atau dalam pertemuan keluarga, selalu dikaitkan dengan keseimbangan alam, pembentukan tatanan keharmonisan gumi Bali, dan menjauhkan dunia dari musibah. Sebagai bentuk instrospeksi diri, mulat sarira dalam keberadaan manusia Bali kini. Berbagai bentuk pencerahan dan siraman rohani itu sering dikumandangan para Pedanda, tokoh masyarakat, birokrat sampai pada ketua-ketua adat di Bali. Seolah-olah perspektif ini sudah menjadi kesepakatan bersama. Jika ada musibah, bisa secara niskala (alam gaib) diselesaikan dengan upacara ritual agama. Dan Bali kemudian bisa terus harmonis, tatanannya kembali berjalan damai dan masyarakat bisa diam, patuh, menurutinya.

Padahal upacara tidak sekadar urusan kosmis, keseimbangan tatanan, tapi juga relasi yang diskursif dari semua pihak yang bermain didalamnya. Dari hasil relasi yang tidak bisa kita bayangan berhubungan inilah terjadi semacam hubungan kuasa satu dengan yang lain yang tanpa disadari. Meminjam Michel Foucault, kekuasaan yang diskursif kadang beroperasi tanpa sadar, tanpa ada dalam bayangan kita dan tidak kelihatan secara nyata. Semuanya adalah hubungan diskursif, kelihatannya tidak berkaitan, tapi sebenarnya mempunyai relasi yang kuat, silih berganti diantara para pemainnya, menyebar tanpa pusat dan sama-sama memainkan kuasa tersebut.

Untuk menunjukkan ini, menarik melihat contoh politik upacara yang dilakukan di Bali tahun 1979. Saat itu, perhelatan ritual besar Hindu Bali, Eka Dasa Rudra dan Panca Bali Krama dilangsungkan sangat politis dan menjadi awal penataan harmoni dan pembersihan noda-noda sejarah di Bali. Saat itulah dilakukan upacara nyapuh jagad, upacara pembersihan dunia, dari musibah, bencana alam yang disebabkan oleh kala (Dewa Kejahatan). Termasuk dalam upacara nyapuh jagad ini adalah pembersihan para korban pembantaian PKI yang mayatnya sudah ataupun belum ditemukan. Sama dengan ngaben tanpa mayat Satpam Sari Club dalam Bom Bali Oktober 2002. Upacara ini serentak dilakukan diseluruh Bali dengan negera, pemerintah daerah Bali bersama lembaga Hindu, PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) sebagai pengerak dan pelaksana upacara.

Dalam konteks ini, upacara juga bisa menjadi total relasi dari kepentingan negara/pemerintah daerah, PHDI dengan masyarakat sebagai pengayahnya (pelayannya) dalam upacara-upacara besar keagamaan. Jika pada zaman kolonial, raja-raja di Bali menjadi patron kuat kekuasaan bagi abdinya. Atau dalam bahasa Antropolog Cliiford Geertz dalam Negara, The Thetre State in Nineteenth-Century Bali (1980), negara Bali sebenarnya dijalankan dengan setengah-setengah dan ragu-ragu oleh raja-rajanya. Semua relasi kekuasaan itu ditujukan ke arah pertunjukan, upacara, ke arah dramatisasi di muka umum dari obsesi-obsesi utama budaya Bali; derajat sosial dan kebanggaan status (baca: relasi kekuasaan). Geertz melatakkan dasar awal bagaimana upacara, negara, masyarakatnya kemudian berelasi kuat sampai saat ini dengan kekusaan yang ada dalam “imaji” masyarakat Bali. Kekuasaan melayani upacara, bukan upacara yang melayani kekuasaan.

Tesis Geertz itu mungkin kini akan lebih diskursif lagi jika dimaknai bahwa upacara dan kekuasaan saling melayani, dan keduanya mempunyai hubungan diskurisif yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling terkait, mengayomi dan memainkan kekuasaan mereka sendiri-sendiri. Upacara dengan tatanan kosmisnya, dan para pemainnya dengan bayangan kekuasaan mereka.

Pada titik relasi kekusaan upacara inilah, upacara Eka Dasa Rudra 1979 di Pura Besakih menjadi semacam momentum pengilmiahan, peniskalaan kekuasaan dalam bingkai upacara yang dilakukan orde baru. Dalam upacara itu, bagaimana negara/pemerintah, PHDI, keluarga korban dan politik tubuh mayat orang yang hilang dalam pembantaian berelasi kuat dalam kekuasaan yang dimainkan negara. Upacara-upacara di Bali sampai kini melibatkan peran negara, politik komunal/soroh (garis darah), kelas. Jadi bohong besar jika upacara itu murni adalah tatanan harmoni kosmis. Semuanya adalah total relasi.

Orde Baru secara cerdik memainkan ini dengan segala perangkat keras dan lunak kekuasaannya. Terminologi “Bersih Lingkungan” secara cerdas bisa merasuk dalam urat nadi manusia Bali dengan upacara. Meminjam Foucault, usaha yang paling cerdik adalah bagaimana menormalkan relasi-relasi kekuasaan itu. Segala macam perlawanan/konflik—dilakukan oleh kelompok politik komunal soroh dalam upacara--merupakan bagian inhern dalam relasi kekuasaan yang dibangun, yang cenderung untuk mengisolasikan dan mengindividuasikan perlawanan menjadi serangkaian “kasus-kasus khusus” yang tidak mengizinkan generasilasi. Upacara selain melahirkan keakraban komunal, juga memantik konflik. Dengan discourse kekuasaan yang dibentuk negara, maka dialakukanlah intervensi-intervensi dengan resep standarisai upacara-upacara yang dilakukan oleh pemangku dan pedanda di Bali. Akhirnya, politik komunalitas yang diciptakan orde baru disupport penuh dengan rangkaian riuh rendah dan glamour upacara-upacara besar keagamaan yang dikreasi sepenuhnya oleh negara.

Dengan riuh rendahnya upacara itulah, nyapuh menjadi obat luka sampai saat ini bagi keluarga korban yang ditinggalkan. Lebih dari 25 tahun, sejak 1979, keluarga korban didiamkan dengan begitu berwibawanya upacara nyapuh. Saya sangat yakin, sampai kini keluarga korban masih berharap menemukan dimana sanak keluarga mereka yang hilang dikuburkan, dan jika mungkin melihat tulang-tulangnya. Meskipun dengan reaksi emosial yang sulit untuk dibayangkan.

Suatu kali saya mungkin boleh berharap, bahwa terjadi pengungkapan sejarah dan kebenaran terhadap puluhan bahkan ratusan para kerabat yang sampai detik ini belum mengetahui nasib keluarga mereka yang hilang saat malam-malam mencekam tahun 1965-1969 di Bali. Saya tidak tahu mungkin caranya bisa penggalian kuburan massal dan upacara yang layak bagi keluarga korban. Tapi terpenting ada pengungkapan kebenaran keberadaan jenazah tulang belulang keluarga mereka.

Harapan saya juga, suatu saat nanti setelah di Pantai Muara Perancak, Kabupaten Negara, tulang belulang manusia saksi sejarah pembantaian paling keji di tanah air ini tidak langsung diselesaikan dengan politik upacara, menisbikannya, membiarkannya tetap lekat dalam relung-relung memori sejarah yang kelam dari genereasi ke generasi. Ada pembuktikan, penelitian dan pengungkapan kebenaran akan tulang-tulang yang dianggap leteh itu. Untuk itulah, narasi sejarah para korban menjadi hal penting untuk diungkapkan, bukan didiamkan, ditiadakan.

Bagi saya, pembantaian PKI adalah sebuah sejarah kelam yang bukan harus dikubur, dilupakan dengan upacara ritual agama serta gelimang pariwisata dan pembangunan. Saya tidak akan pernah melupakan, saya tidak akan pernah memaafkannya.

I Ngurah Suryawan, Melakukan riset Budaya Kekerasan di Bali untuk KITLV (Koninklijk Instituut voor Tall Land en Volkenkunde) Belanda. Sedang menyelesaikan skripsi, “Lima Tameng Bali: Cerita Pembantaian PKI 1965-1966 di Bali” di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

Source : www.sekitarkita.com



0 comments:

Posting Komentar