Minggu, 08 November 2015

Situs Religius, Mutiara Terpendam di Klungkung

By
OM Svastyastu,
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/18/bd1.htm

DALAM hal akselerasi atau percepatan perkembangan sektor kepariwisataan, boleh jadi Kabupaten Klungkung dikategorikan tertinggal jauh dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Bali. Bumi Serombotan ini tidak punya objek wisata yang "secemerlang" pantai Kuta, pantai Sanur, Tanah Lot, Lovina, Candidasa maupun kawasan eksotik Nusa Dua.

Dunia pariwisata Klungkung relatif sepi dari ingar-bingar kehadiran wisatawan mancanegara maupun domestik. Masih untung, kabupaten dengan luas wilayah tersempit di Bali ini memiliki Kertha Gosa dan Taman Gili yang mampu memikat wisatawan lewat kemegahan arsitektur dan lukisan wayang stil Kamasan yang memenuhi langit-langit bangunannya. Di luar itu, tidak ada lagi objek wisata yang memikat.

Sementara kawasan pantai berpasir putih di Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan bak mutiara terpendam yang dipisahkan oleh Selat Badung berarus garang. Belum bisa digosok secara optimal akibat ketiadaan fasilitas penunjang seperti dermaga yang representatif, air bersih yang mencukupi, hotel-hotel maupun fasilitas penunjang kepariwisataan lainnya. Kondisi ini memaksa sektor kepariwisataan Klungkung tetap "merangkak" dalam mengejar ketertinggalannya dari "saudara-saudara kandungnya" di Bali.

Namun, di balik segala keminusan itu, Klungkung memiliki sejumlah "mutiara terpendam" lain yang potensial diasah menjadi objek wisata alternatif sekaligus untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakat setempat.

Mutiara terpendam itu adalah Pura-pura besar yang berdiri megah di wilayah Klungkung daratan maupun pulau tandus Nusa Penida. Sejumlah pura yang bisa dimasukkan ke dalam "barisan" itu adalah Pura Kentel Gumi (Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan), Pura Penataran Agung (Kelurahan Semarapura Kangin, Klungkung), Pura Dasar (Desa Gelgel, Klungkung), Pura Watu Klotok (Desa Tojan, Klungkung) dan Pura Goa Lawah (Desa Pesinggahan, Dawan), Pura Dalem Ped (Desa Ped, Nusa Penida), Pura Bukit Mundi (Desa Klumpu, Nusa Penida), Pura Batu Medau (Desa Suana, Nusa Penida) dan Pura Goa Giri Putri (Desa Suana, Nusa Penida).

"Pura-pura itu setiap piodalan diluberi oleh umat Hindu dari seluruh Bali untuk tujuan pedek tangkil. Dari segi arsitektur, pura-pura itu juga menyiratkan kemegahan dan keunikan tersendiri," kata Kasubdin Bina Objek Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Klungkung I Wayan Yudara, B.A. Kendati memiliki banyak mutiara terpendam, tambah Yudara, ternyata baru dua lingkungan pura (bukan pura-red) yang dimasukkan sebagai objek dan daya tarik wisata (ODTW) yakni lingkungan Pura Goa Lawah dan Pura Watu Klotok oleh Pemkab Klungkung. Dari dua pura Kahyangan Jagat tersebut, hanya Pura Goa Lawah yang sudah dikelola secara profesional atau "dijajakan" kepada wisatawan mancanegara dan domestik.

Sementara Pura Watu Klotok belum ada pengelolaan khusus, mengingat kawasan suci belum banyak "dilirik" wisatawan. Untuk bisa menikmati kemegahan Pura Goa Lawah yang terkenal dengan koloni kelelawarnya dari dekat, setiap wisatawan wajib membayar retribusi atau bea masuk. Nilai retribusi itu adalah Rp 2.000 untuk dewasa dan Rp 1.000 untuk anak-anak. Khusus untuk umat Hindu yang berpakaian sembahyang dengan tujuan tangkil (bersembahyang), dibebaskan dari kewajiban membayar retribusi. "Semua pendapatan dari retribusi itu masuk ke kas daerah. Pemkab Klungkung punya sebuah tim khusus untuk memungut retribusi atau pun mengelola objek wisata pura tersebut," kata Yudara menambahkan, pengelolaannya tetap melibatkan desa adat dan desa dinas setempat.

Meskipun leading sector pengelolaannya adalah Disbudpar Klungkung, pihak-pihak yang ditugaskan untuk memungut retribusi, memantau aktivitas wisatawan serta pengamanan wilayah dipercayakan kepada sejumlah krama setempat. "Untuk mempertahankan kesucian pura, tidak sembarang tamu bisa masuk ke lingkungan pura. Wisatawan yang sedang menstruasi, misalnya, jelas dilarang keras. Di pintu masuk, kita telah pasang papan-papan peringatan. Mereka juga diwajibkan mengenakan kain dan amed (selendang) yang sudah dipersiapkan petugas," katanya seraya menegaskan, dengan adanya kewajiban membayar retribusi itu bukan berarti wisatawan bisa berbuat seenaknya.

Rambu-rambu yang ada wajib untuk ditaati.

Retribusi yang ditangguk dari objek wisata Pura Goa Lawah tidak sepenuhnya masuk ke kas daerah. Sebagian di antaranya masuk ke kas Bendesa Adat Pesinggahan sebesar 8%, Desa Dinas Pesinggahan (2%) dan 5% didistribusikan kepada petugas sebagai upah pungut. "Kontribusi untuk desa adat maupun desa dinas tetap ada, sebab itu hak mereka. Biasanya, kontribusi dari retribusi itu dimanfaatkan untuk menjaga kebersihan pura dan perbaikan-perbaikan fisik pura yang sifatnya ringan. Pemanfaatan kontribusi sepenuhnya wewenang bendesa adat dan krama-nya untuk mengaturnya. Yang jelas, kami juga melakukan pembinaan-pembinaan intensif untuk menumbuhkan sadar wisata bagi petugas maupun warga lainnya yang beraktivitas di lingkungan Pura Goa Lawah. Di sana juga ada kios-kios yang menjual suvenir dan makanan ringan sehingga para pedagang juga wajib dibina agar tidak merusak citra kepariwisataan kita," katanya. Dia menambahkan, kunjungan wisatawan ke Pura Goa Lawah termasuk tinggi. Pada 2001 lalu, angka kunjungan wisatawan mencapai 30.913 orang. Sayang, angka itu anjlok menjadi 19.796 orang pada 2002 lalu. Penurunan angka kunjungan wisatawan secara drastis tentu berkaitan erat dengan Tragedi Kuta 12 Oktober 2002.

Nusa Penida Menurut Yudara, potensi pengembangan wisata religius juga terbuka lebar di Nusa Penida. Pulau tandus ini memang memiliki sejumlah pura megah yang bisa "dijual" kepada wisatawan. Pendapat Yudara itu dibenarkan pengelola Bungalo Nusa Garden, Nusa Penida Dewa Koming Widartha. Ditegaskan, para pelaku pariwisata di Nusa Penida belum ada yang melirik potensi wisata religius ini. Padahal, ada sejumlah pura atau bangunan suci yang sangat layak dikembangkan untuk kepentingan tersebut seperti Pura Luhur Dalem Ped, Pura Bukit Mundi, Pura Batu Medaung dan Pura Goa Giri Putri.

Pura-pura ini tidak hanya cocok untuk umat yang mendambakan kedamaian rohani, bentuk arsitektur bangunannya yang unik dengan ragam ukiran yang khas juga diyakini mampu "membius" para wisatawan. "Tujuan utama mereka datang ke sini memang untuk ngaturang sembah (sembahyang-red). Tetapi, di sela-sela kegiatan tirtayatra itu kan bisa diselingi dengan melihat-lihat keindahan alam Nusa Penida yang lain. Dengan begitu, masa tinggal wisatawan itu di Nusa Penida bertambah panjang," ujarnya.

Widartha menambahkan, dua pura yang sangat layak difavoritkan untuk kepentingan ini adalah Pura Luhur Dalem Ped dan Pura Goa Giri Putri. Pura Luhur Dalem Ped yang merupakan pura kahyangan jagat, misalnya, memiliki beberapa pelinggih pemujaan yang mencuatkan nuansa spiritualitas yang kental. Di bagian utara kompleks pura ini juga berdiri megah Pura Segara dengan arsitektur khas menyerupai ulam agung (ikan besar).

Di bagian lain juga ada taman yakni aelinggih yang dikelilingi kolam, palinggih Ida Batara Ratu Gede Mas Mecaling yang diyakini oleh krama Hindu sebagai penguasa jagat dan sejumlah palinggih lainnya. Seluruh bangunan itu memiliki arsitektur yang khas dengan ornamen atau ukiran batu padas putih khas Nusa Penida. "Paling tidak, dua kali dalam setahun krama Hindu di Bali pedek tangkil ke Pura Luhur ini untuk memohon keselamatan. Jumlah pemedek tidak hanya ratusan, tetapi mencapai ribuan," katanya.

Sementara di Pura Goa Giri Putri, para wisatawan akan disuguhi keajaiban alam yang memukau. Kompleks pura dengan arsitektur sederhana ini "tersembunyi" di dalam perut bumi (goa) yang sangat luas. Di dalam goa terdapat banyak stalaktit dan stalakmit yang indah. Di sana juga terdapat mata air sebagai sumber tirta yang dikeramatkan karena diyakini mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan bagi pemedek. Hanya, pada waktu masuk ke dalam goa agak sulit. Para pemedek harus merangkak sekitar tiga meter melalui celah bebatuan yang sempit, sebelum akhirnya mencapai bagian goa yang cukup luas menyerupai terowongan bawah tanah. Di bagian inilah didirikan sejumlah palinggih untuk menggelar persembahnyangan. Di dinding goa bagian atas, juga terdapat cerukan (goa kecil-red) dengan bebarapa palinggih pemujaan. Namun, untuk sampai ke sana para pemedek harus menaiki sebuah tangga yang terbuat dari kayu. Pada areal ini juga terdapat sebuah ruangan berdiameter sekitar satu meter yang beralaskan pasir hitam.

Konon, tempat ini sering dijadikan sebagai tempat meditasi dan ngalap (memohon) berkah. "Siapa pun yang masuk ke dalam goa ini, pasti akan terperangkap dalam suasana khusyuk. Tempat di sini sangat cocok untuk menenangkan pikiran," kata Widartha. (ian)

Kiriman dari: Semarapura
Source : HDNet

0 comments:

Posting Komentar