Jumat, 13 November 2015

Membangun Bali Berbasis Spiritual

By
From: "Putra Semarapura"
(putra_semarapura@yahoo.com)
Date: Thu, May 3, 2007 23:09
To: hindu-dharma@itb.ac.id

OM Svastyastu,
http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/3/o2.htm
Jika kita membaca sejarah kepemimpinan yang sukses atau yang kurang berhasil dalam membangun Bali sejak ribuan tahun lalu, semua dari mereka berjuang dengan konsep pembangunan yang jelas berbasiskan spiritual. Mampu menggerakkan atau memotivasi jiwa dan semangat semua masyarakat Bali untuk bersama-sama membangun daerah tanpa pamrih dan tanpa merasa berutang kepada sang pemimpin.

-----------------------------

Oleh Jro Mangku Made Sulasa Jaya

MENURUT sejarah kepemimpinan Bali di masa lalu, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu meletakkan dasar-dasar perubahan yang kuat pada tiap perubahan yang dibuatnya. Sehingga, hasilnya dapat dinikmati oleh semua orang secara berkelanjutan sampai dengan beberapa generasi selanjutnya. Pemimpin yang mampu melukiskan kalimat-kalimat indah di atas batu nisannya sendiri, seperti:

disemayamkan dengan damai Tuan X yang telah mampu mewujudkan rasa tenteram, damai dan kesejahteraan kepada rakyat Bali, dengan konsep pembangunan seribu pura.

Tidaklah mungkin ada pengakuan dan rasa hormat masyarakat Bali terhadap seseorang yang dikubur dengan batu nisan yang bertuliskan, disemayamkan dengan damai Tuan Z, yang telah menggagas penjualan sampai habis tanah suci Bali kepada investor.

Konsep pembangunan berbasis spiritual yang dimaksud, bukanlah semata-mata dinilai dari kepandaian seorang pemimpin dalam membangkitkan kekuatan emosi masyarakat dengan memanfaatkan tempat-tempat suci ataupun kehidupan desa pakraman yang sudah tentram dan damai, sebagai arena pertarungan politik untuk memenangkan kepentingan pribadi atau golongan. Melainkan konsep pembangunan yang menyentuh semangat dan jiwa terdalam masyarakat yang dipimpinnya. Kebijakan yang didasari kejujuran dan transparansi dengan memberikan jaminan akan adanya ruang seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat untuk ikut serta membangun daerahnya sendiri secara aktif.

Pembangunan berbasis spiritual bersifat vertikal dan berkelanjutan, yang tidak mengenal persaingan dengan orang lain dan juga tidak mengharapkan kalah-menang dari dan dengan orang lain. Pembangunan berbasis spiritual adalah pembangunan jati diri, yang memiliki jiwa berani terhadap diri sendiri, berani mengatakan bahwa yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar tanpa mengharap nikmat sesaat secara gratis.

Pembangunan berbasis spiritual bukanlah keberanian yang didasari semata-mata oleh faktor intelektual dan emosi. Namun yang didasari juga oleh faktor kejiwaan (spiritualitas).

Apakah masyarakat Bali masih mampu memilih seorang pemimpin yang memiliki potensi untuk mampu mewariskan kalimat indah di atas batu nisannya kepada masyarakat Bali? Jawabannya tergantung pada kemampuan masyarakat Bali memahami kembali perjalanan sejarah keberhasilan dan kegagalan para pemimpin Bali di masa lalu. Bagaimana tekad dan keinginan masyarakat Bali dalam menyikapi perubahan yang harus dilaluinya di saat mendatang, apakah masyarakat Bali memilih untuk tetap berada di daerah yang menjanjikan kenikmatan (comfort zone) untuk disuapi dengan sesuap nasi dan janji-janji yang membosankan, yang sesungguhnya sudah tidak nikmat lagi. Atau memilih masuk ke daerah yang kurang nikmat (discomfort zone) untuk berjuang dan bekerja keras bersama-sama menciptakan kenikmatan bersama. Karena kenikmatan bukanlah berkah yang jatuh dari langit, bukan diciptakan orang lain untuk kita nikmati secara gratis, melainkan harus dicapai dengan perjuangan dan kerja keras.

Jika kita membaca sejarah kepemimpinan yang sukses atau yang kurang berhasil dalam membangun Bali sejak ribuan tahun lalu, semua dari mereka berjuang dengan konsep pembangunan yang jelas berbasiskan spiritual. Mampu menggerakkan atau memotivasi jiwa dan semangat semua masyarakat Bali untuk bersama-sama membangun daerah tanpa pamrih dan tanpa merasa berutang kepada sang pemimpin. Jiwa dari konsep memotivasi pembangunan ini sudah dikenal di Bali dengan semboyan salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya. Atau mirip dengan semboyan berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Ciri-ciri

Ada beberapa ciri pemimpin yang memiliki konsep pembangunan berbasis spiritual. Pertama, memiliki jiwa dan pandangan hidup yang Pancasilais, yaitu menghormati, menghargai, dan mampu memelihara perbedaan daerah dengan benar, sebagai dasar kesatuan, persatuan, dan kekuatan pembangunan bangsa. Karena sesungguhnya bangsa yang besar membutuhkan berbagai nilai dari profesi yang berbeda dengan satu tujuan yang sama.

Kedua, memiliki jati diri yang jelas sebagai wujud jati diri daerah yang dipimpin. Wajah pembangunan Bali akan sangat tergantung pada pemimpinnya. Untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada seorang pemimpin, terlepas dari apakah ia pemimpin yang baik atau tidak baik, maka pembangunan Bali ke depan harus mengutamakan pembangunan pendidikan daripada pembangunan lainnya.

Ketiga, memiliki kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual yang seimbang. Kemampuan untuk memprediksi keadaan di saat mendatang adalah kemampuan intelektual. Mempersiapkan kondisi masyarakat secara alami merupakan kemampuan emosional. Kemampuan dalam memanfaatkan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi secara mendasar adalah kemampuan spiritual.

Keempat, memiliki pola pikir kreatif dan inovatif atas tiap kebijakan yang dibuat. Memberikan ikan kepada masyarakat yang membutuhkan ikan adalah hal biasa yang justru harus diwaspadai. Namun memberi pancing dan mengajarkan masyarakat untuk mencari ikan adalah pikiran yang kreatif.

Kelima, memiliki kesetiaan kepada daerah yang dipimpin, mengutamakan kesetiaan kepada dunia dan mengabaikan kesetiaan kepada saudara sendiri, walaupun dengan alasan pembelajaran sekalipun, merupakan tindakan yang tidak mencerminkan kesetiaan kepada daerah sendiri, apalagi hingga memecah belah kesatuan dan persatuan daerah sendiri.

Keenam, mampu mengidentifikasi peluang global, mengenal kekuatan dunia dengan maksud untuk mencari peluang bagi kemajuan daerah merupakan tindakan mulia. Tetapi mengenal kekuatan dunia untuk kemudian dipergunakan bagi kepentingan sendiri atau kelompok untuk menguasai daerah sendiri dan menindas saudara sendiri bukanlah kelakuan seorang pemimpin yang baik.

Ketujuh, mampu mengidentifikasi potensi daerah secara mendalam dan holistik, baik engindentifikasi faktor kekuatan maupun kelemahannya, merupakan kewajiban seorang pemimpin sebelum menandatangani kontrak politik dan kebijakan kepemimpinannya dengan masyarakat yang dipimpin.

Kedelapan, mampu membuat kebijakan secara terkoordinasi, transparan, dan sistematis. Kebijakan yang membumi seperti pembangunan beberapa pura sebagai bagian dari pembangunan tata ruang Bali, pembangunan sistem sosial kemasyarakatan (desa pakraman), dan pembangunan seni dan sastra daerah yang melibatkan semua unsur dan lapisan masyarakat, merupakan pembangunan berbasis spiritual. Seluruh masyarakat dapat berinteraksi secara aktif berkelanjutan dalam melaksanakan kebijakan seorang pemimpin, tanpa dipengaruhi oleh maksud-maksud politis yang tersembunyi.

Penulis, pengamat masyarakat, tinggal di Denpasar
-------------

* Konsep pembangunan berbasis spiritual didasari kejujuran dan transparansi dengan memberikan jaminan akan adanya ruang seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat untuk ikut serta membangun daerahnya sendiri secara aktif.

* Pembangunan berbasis spiritual adalah pembangunan jati diri, yang memiliki jiwa berani terhadap diri sendiri, berani mengatakan bahwa yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar tanpa mengharap nikmat sesaat secara gratis.
Source : HDNet




0 comments:

Posting Komentar